CERPEN PERDANA


Lama tak ku lihat wajah ini.. 
lelaki bermata sayu yang beberapa tahun ini membuatku menangis di malam hari. Tidak!! Dia tidak menyakitiku, tapi aku merindukannya, rindu yang tak dapat kubendung tanpa merasa sesak didada. Tapi sore ini dia ada di hadapanku, sibuk menebar senyum manisnya pada setiap orang yang dikenalnya lalu lalang di taman ini, tak sekalipun senyuman itu ditujukan padaku. 

 Tiga tahun yang lalu… 

 “Dell, ada anak baru lho.. cowok!!” Peny menyikutku. Saat itu kami sedang asyik duduk-duduk di jendela raksasa perpustakaan sekolah kami, jendela ini adalah tempat favoritku dan Peny, letaknya di bagian paling belakang perpustakaan yang jarang sekali dikunjungi orang bahkan alien sekalipun, karena disinilah buku-buku paling angker disimpan. Jendela raksasa ini posisinya lebih tinggi dari pada kepala kami, jadi aku dan Peny harus memanjat untuk sampai disini. Dari jendela inilah kami bisa lihat halaman sekolah dan makhluk jangkung itu, si anak baru yang barusan di ceritakan Peny. 

 “itu tuh, yang bawa minuman sambil jalan..” Peny nyambung lagi. 
“Sayu!! Matanya sayuu..!!!!, bakalan cepet mati tuh cowok Pen. Hahaha…” Aku menimpali dengan sedikit bercanda. Kulirik Peni sambil terbahak-bahak.. Peni menatapku dengan tatapan lemes seolah bilang ‘apa sih loe?’ dan tawaku jadi berasa garing. Sial.. aku berhenti tertawa. 

Tak lama kami mendengar bel sekolah berbunyi, aku bergegas meraih teenlit yang tadinya kubawa kemari, sedangkan Peni mendahuluiku turun dari jendela, aku menyusulnya tapi rok dongkerku tersangkut paku dan membuat kosentrasiku buyar. Bbraaaaaak… aku terjatuh diatas tumpukan buku-buku tua berdebu. Dan sayup-sayup kudengar tawa Peny yang tak kunjung berhenti sampai hilang dimakan pintu perpustakaan. 


Kumasuki kelas hari ini dengan rambut yang basah karena cuci muka di toilet yang kerannya suka nyembur sembarangan. Seragamku belang2 putih-krem karena debu perpustakaan itu lebih tebal dari pada buku-buku yang ada disana. Rok yang sobek dibagian lutut hasil nyangkut dipaku, dan lutut yang di tutup kain kassa dengan motif sembarang warna merah menutupi luka yang ada di baliknya, aku cukup yakin penampilanku pagi ini akan sedikit menarik perhatian. 

“Hadella Putri Nazira, Kacau sekali kau. Ada apa ini?? Kenapa kau terlambat???” Pak Ucok guru bahasa Indonesia kami yang teramat sangat cinta akan kebatakannya itu sudah berdiri didepanku dengan tampang cemas campur kesal, aku tak tau bagaimana harus menjelaskan ekspresinya yang aneh itu. 
“S.. Saya…. tadi jatuh pak di perpustakaan.” Aku menjawab dengan gagap karena malu. 
“Kau itu sering ke Perpustakaan, tapi nilai kau tak bagus-bagus juga.. nah, coba kau kemarikan buku di tangan kau itu, buku apa itu? Aku mau tau” Pak Ucok menarik teenlit yang baru kemarin sore aku beli dari tanganku. 
“Bah, apa pula ini? Kau piker kau bisa dapat ranking satu dengan baca novel hah? Aku sita buku kau!! Tak akan kukembalikan. Sekarang, duduklah di bangkumu” perintah Pak Ucok yang tak akan kuacuhkan. kulangkahkan kaki dengan menahan perih di lututku dan memikirkan bagaimana caranya aku menyiapkan membaca teenlit yang diambil Pak Ucok. Dia boleh memilikinya hanya setelah aku selesai membacanya. Seketika aku berhenti berfikir ketika tak kulihat Peny di meja kami, biasanya kami duduk bersama, sekarang kenapaaaa…. 

“Hai, namaku Deon. Mulai hari ini kita duduk sebangku” Makhluk bermata sayu itu tiba-tiba berdiri dari duduknya dan mengarahkan tangan kanannya padaku. Aku masih saja celingak-celinguk mencari Peny. “Cepatlah kau duduk Hadella, mulai sekarang kau duduk dengan Delon. Aku sudah lelah menegur kau dan si Peny selalu tertawa-tawa setiap aku menerangkan pelajaran. Jadi kau terima sajalah. Itu salah kau sendiri!!” Pak Ucok mengejutkanku dengan suaranya yang memekakkan telinga. 
 “Tapi pak.. Peny dimana??” aku penasaran tak melihat Peny dimanapun disekitar ku. Kulihat Pak Ucok menjawab dengan merendahkan kepalanya, melihat kearah meja paling depan lewat sela-sela kacamata tebalnya. Kuikuti tatapan Pak Ucok, dan kulihat Peny dengan tampang penuh kekecewaan duduk di barisan paling depan bersama Edo si alien yang otak dan rambutnya mirip banget sama Albert Einstein, kecuali giginya yang hitam. Segera saja aku duduk, kulipat tangan diatas meja dengan kepala tertunduk, sekuat tenaga kutahan tawaku yang hamper saja pecah sejak kusadari Peny duduk didepan meja guru, bersama si alien???? Hahahahahahahaaaaa….. 

 *** 

(Deon)

Hari ini hari pertamaku sekolah di PELITA HATI, aku mulai bertanya-tanya didalam hati ‘apa sekolah ini memang dipenuhi orang-orang yang aneh?’ Kulirik teman sebangkuku yang sekarang sedang asyik menahan tawa, punggungnya bergetar seperti orang sesak nafas, sesekali terdengar juga suaranya terkikik dibalik tangan yang terlipat, rambutnya basah, seragamnya kotor, rok sobek dan lutut terluka. Dia tak menjawab sapaanku, malah sibuk menertawakan temannya dibarisan depan, tertawa seperti tak akan bisa berhenti, seperti dilahirkan hanya untuk menertawakan orang. Bukankah aneh menertawakan teman seperti itu padahal dirinya sendiri lebih kacau dari siapapun yang ada diruangan ini sekarang? 

Belum lagi, pertama kali kumasuki kelas ini, aku dikagetkan seorang yang memiliki rambut sangat kacau seperti sapu ijuk yang sudah usang dimakan usia, ia tersenyum memamerkan giginya yang rapi tapi berwarna hitam semua. Tapi segera saja kubuang jauh-jauh ekspresi kaget itu, aku sadar dia hanya mencoba menjadi ramah padaku, jadi kuputuskan untuk membalas sapaannya. Belum lagi kubalas senyuman anak aneh itu, sesuatu menabrakku, seorang cewek yang tertawa dengan mata berair mengucap kata yang tak jelas ditelingku karena tawanya tak kunjung berhenti, begitu juga dengan airmatanya. 

Kemudian seorang guru yang aneh. Guru Bahasa Indonesia Kami. Guru pertama yang kutemui di sekolah ini, Guru Bahasa Indonesia yang tak berbahasa Indonesia dengan benar. Guru bahasa Indonesia yang sekarang menjelaskan pada kami tentang antonym, dia menyapa semua muridnya dengan panggilan ‘kau’? 

“Jadi nama kamu Deon apa Delon?” seru sebuah suara aneh berasal dari manusia disampingku. 
“Deon!! Guru batak itu mungkin gak dengar waktu aku memperkenalkan diri tadi” 

*** 

(Adell)

Aku sadar bibir bawah dan bibir atasku sudah membentuk sudut 50o sekarang. Aku tak lagi bernafsu menertawakan Peny didepan sana. Aku sedikit ingin tau apa yang ada dikepala anak baru yang duduk disampingku ini, “Kamu bilang ‘guru batak’? Pak Ucok itu guru Bahasa Indonesia lho. Trus kamu bilang dia gak dengar? Kamu ga tau ya? Bahkan dia bisa dengar aku sama Peny lagi cekikikan di bawah meja sekalipun dari posisi dia berdiri sekarang. Bahkan waktu dia lagi tidurpun, matanya boleh tidur, tapi telinganya gak pernah tidur..” Ku atur nafasku yang terengah-engah setelah puas tetawa dan bicara panjang lebar tentang Pak Ucok . 
“Dia guru favorit kamu?” makhluk bernama Deon itu tiba-tiba bertanya pertanyaan tidak penting. 
“Aku? Pak Ucok? Ya enggaklah.. kamu pikir aku mau apa jadiin dia guru favorit setelah dia ambil teenlit kesayanganku? Engga deh.. belum lagi logat bataknya itu, dia pikir disini kampungnya apa..” aku berbisik pada Deon, karena kalau sampai Pak Ucok dengar bagian yang ini bisa-bisa aku gak naik kelas. 

“Kalau gitu ayo kita sebut dia ‘Si Batak’..” 
Ini kali kedua dia bikin aku melongo dalam sepuluh menit pertama percakapan kami. 
“Okey!!!” ucapku bersemangat. 

“Eh, nama kamu siapa?” 
“Aku rasa si batak itu udah berkali-kali panggil namaku pagi ini..” jawabku menyipitkan mata. Deon tersenyum.. dan tunggu!! Ternyata senyumnya manis banget, sayangnya matanya sayu, kata mbak Tika itu tanda-tanda orang umurnya pendek. 
“iya aku tau, tapi nama lengkap kamu ribet banget, aku gak ingat” sambung Deon tak sadar aku memuji senyumnya dan memaki matanya dalam hatiku. 
“Hadella Putri Nazira” jawabku singkat. 
“ntar kalo lupa lagi, namaku ada diurutan kelima di buku absen” 
“Jutek amat, kalo gitu aku panggil kamu Zia.. “ 
“enggak, panggilanku bukan itu, semua orang panggil aku Adell” 
“Kalo gitu cocok, aku satu-satunya orang yang manggil kamu Zia, klo ada yang manggil kamu Adell itu berarti bukan aku.” Balasnya dengan tampang sok imut. Kenapa dia selalu bikin aku bengong???????? 

 * * * * 


3 tahun setelahnya...
(Adell)

 “Hai dell..” Seseorang menyadarkanku dari lamunanku. Kulirik sang pemilik suara.. dan… 
 “Deon?” iya Deon.. dan panggilan itu… 
 “Iya, dari tadi kita ada di tempat yang sama tapi gak saling nyapa.. boleh aku duduk disini?” aku tak tau harus bilang apa, jadi kuanggukkan kepalaku. Sesak rasanya di dada, aku tak pernah lagi berharap dia masih mau bicara padaku. Aku senang, tapi aku tak berani berkata apa-apa. 
“Koq kamu diem aja?”
“Trus aku mesti bilang WOW gitu?” 
“Haha.. kamu masih sama aja kea dulu..” 
“aku yang dulu… kamu benci??” aku tak tahan ingin mengetahui apa pendapatnya tentang aku sekarang. Aku tak bisa lagi menerka-nerka apakah dia benci aku atau tidak? sedang aku selalu merindukannya sejak kami tak lagi satu sekolah. Kulirik Deon, tatapannya lurus kedepan wajahnya berubah serius.. tapi tetap saja matanya sayu.. 

“Aku gak benci kamu” 
“trus kenapa kamu gak lagi panggil aku Zia?” Suaraku mulai meninggi, berharap kata-katanya berikutnya tak menghancurkan hatiku 
“Bukannya kamu yang bilang hubungan kita gak bakal bisa sama lagi setelah hari itu?” aku tersentak kaget mendengar jawaban Deon.. dia masih menyimpan semuanya, dia masih mengingat kata-kataku 3 tahun lalu. “Maafin aku..” kali ini kuucapkan dengan pelan.. kembali kurasakan kepedihan itu. Ternyata dia tak bisa melupakan hari dimana dia mengucapkan cintanya padaku. Aku ingin meluruskan masalah ini, tapi aku tak tau harus bagaimana. 

“Aku gak bermaksud ngungkit masalah ini Zii, tapi kamu Tanya aku.. aku jadi ingat! Tapi udahla.. aku udah berusaha lupain itu.” 
“aku pengen kamu ingat lagi Deon..” kali ini kulihat Deon mengerutkan kening mendengar kata-kataku. Tapi aku ingin meluruskan masalah ini. 
“Maafin aku, Hari itu yang aku ingat cuma kamu udah pernah janji kalo kita bakal terus sahabatan sampe kapanpun. Karna janji itu juga aku jadian sama Rino yon… aku jadian sama Rino karna aku mulai jatuh cinta sama kamu, dan saat aku bilang iya sama Rino, saat itu juga kamu naik ke atas panggung, bilang suka sama aku. Aku harus apa? Aku gak tau harus ngapain selain..”
 “caci maki aku di depan semua orang???” Deon menatap mataku tajam. 
 “Maafin aku…”aku menunduk tak kuasa menatap matanya. “Apapun aku lakuin asal kamu maafin aku yon.. Maaf..” Deon tak menjawabku, akupun tak lagi berani berkata apa-apa.. 

 * * * * 

(Deon)

 Hatiku iba melihat Zia yang terdiam disampingku merasa bersalah.. secara tidak langsung dia udah bilang kalo sebenarnya dia juga suka aku 3 tahun yang lalu. Aku senang.. tapi aku masih tak tau harus berbuat apa. Setetes air jatuh membasahi sepatu ketsnya, dia menangis. Tapii ada satu hal yang membuatku tak mampu menghapus air mata itu… 
 “Kamu masih sama Rino Zii?” kulihat Zia diam sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya tanpa melihat padaku. 
 “kamu punya pacar?” Zia menggeleng lagi. 
 “Tadi kamu bilang kalau dulu kamu cinta aku?” Kali ini Zia mengangguk, tapi keningnya agak berkerut. “Kalau sekarang?” Zia mulai mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahku. 
 “Aku masih sayang kamu..” Dia mengatakannya dengan sangat pelan.. aku tersenyum. 

 “Karna aku udah bikin kamu nangis, aku bakal nemenin kamu sampai hari ini berakhir, karna kamu udah bikin aku malu dan patah hati 3 tahun yang lalu kamu harus nemenin aku sehariani.” kuulurkan tangan kananku pada Zia sambil tersenyum tulus padanya, dia menatapku lama dan akhirnya meraih tanganku dan kami berjalan lambat meninggalkan teman-teman SMP yang masih asyik bersenda gurau menikmati reuni SMP kami yang baru berani kuhadiri tahun ini. 

 THE END

Komentar